
Tentang Kurban, objektivitas dan keiklasan. Tiga kata ini bukan sekadar kata-kata yang dapat dengan mudah dipraktikan oleh seorang setelah mengetahui pengertiannya. Eh, apa kamu sudah mengetahui artinya? Baiklah, akan aku ulang kembali supaya mudah dipahami korelasi ke tiga kata itu.
“Supaya tidak terus jadi korban. Berkorbanlah, dengan hewan Kurban”
Objektivitas adalah bersifat memandang objek atau point of view. Berorientasi pada ‘illah suatu permasalahan. Sedangkan keikhlasan adalah kemurnian. Berasal dari kata kho-la-sho yang berarti kemurnian dalam menjalankan suatu ibadah yang berorientasi pada Tuhan saja, tak ada yang lain.
Baik objektif dan keikhlasan sama-sama mengungkapkan tentang kemurnian. Perbedaannya keiklasan berdasarkan kemurnian hati, sedangkan objektivitas berdasarkan kemurnian fikiran, dalam hal ini cara pandang.
Sedangkan Kurban berarti dekat, istilah lain yang biasa di gunakan adalah Nahr (sembelihan), dan Udhiyyah (sembelihan atau hewan sembelihan). Secara istilah Kurban berarti melakukan penyembelalihan hewan ternak (yang sudah ditentukan agama Islam) pada hari ke 11,12, dan 13 Dzulhijjah.
Lalu apa kaitannya objekivitas, keikhlsan dengan kurban?
Jika kita renungi cerita tentang Nabi Ibrahim dan anaknya, Ismail Salamullah ‘aialhima. Pada saat itu setelah Ibrahim meninggalkan anak dan Isterinya Ismail dan Hajar untuk mengembara jauh menyampaikan ajaran Islam bertahun-tahun lamanya. Ia baru bertemu kembali pada saat usia anaknya menginjak remaja.
Sudah jauh mengembara meninggalkan anak dan istri, tidak lama berjumpa Ia justru mendapat cobaan yang amat berat yaitu menyembelih anaknya sendiri. (lih. QS. Ash-Shaaffat 37 : 102-107). Tidak tanggung tanggung penyimpulan yang Ia lakukan berdasarkan kepada mimpinya.
Coba bayangkan kalau itu terjadi pada kita, apakah jika kita bermimpi diperintah Allah menyembelih anak kita sendiri akan kita laksanakan perintah itu? meninggalkannya dari kecil hingga remaja sudah merupakan pengorbanan yang besar. Sekarang malah memenggal kepalanya dengan tangan kita sendiri. Ikhlaskah kita? objektifkah hal tersebut?
Bukan kapasitas kita mengapa kemudian Nabi Ibrahim memutuskan untuk menyembelih Ismail berdasarkan pada mimpinya adalah bukan hal yang objektif. Saya yakin mimpi-mimpi para nabi berbeda dengan mimpi-mimpi kita. Kalau mimpi yang kita alami sama sekali tidak bisa kita menjadikan dasar untuk mengadili sesuatu. Coba aja lakukan pada anak anda, yang ada anda akan menghabiskan sisa hidup di penjara nanti.
Adapun yang perlu digaris bawahi adalah tentang keikhlasannya menjalankan segala sesuatu yang diperintah Allah. Totalitas keikhlasan yang tidak akan dilakukan oleh manusia biasa. Sebagai Nabi, ia menyampaikan perintahnya kepada anaknya meski sebagai bapak pasti lah sangat berat.
Tetapi perintah tetaplah perintah. harus tetap objektif meski pada anaknya sekalipun. Begitu pula dengan Ismail, dengan begitu mudahnya setuju untuk disembelih. Padahal secara logika ayahnya sudah bertahun-tahun meninggalkannya. Kepatuhan macam apa ini?
Apa pelajaran yang dapat dipetik dari kurban, keikhlasan, dan objektivitas ini?
Adalah totalitas menjaga ideologi meski bertolak belakang dengan logika, selalu objektif pada saat mengambil keputusan. Ikhlas dan tabah menjalani perintah agama, serta selalu berbaik sangka kepada keputusan Allah. Tapi kenapa yang sering justru sebaliknya, kita sering menabrakan perintah agama dengan logika. Sehingga seakan-akan Allah yang tidak adil menghukumi kita. Usaha bangkrut saat mempunyai anak banyak, kita anggap Allah tidak adil. Gagal dalam suatu tes, padahal kita sudah mati-matian berusaha dan lain sebagainya.
Kurban adalah simbol tentang kepatuhan, keikhlasan dan objektivitas. Melewatinya setiap tahun diharapkan kita terus berkembang menjadi pribadi yang selalu tawakal setelah menjalani Ikhtiyar. Yakinlah Tuhan tidak akan mengambil hak kita. Semua sudah digariskan yang mana untuk kita dan mana yang bukan.
Seburuk apapun kenyataanmu sekarang, tetaplah berbaik sangka pada-Nya karena kau akan mendapatkan manis buahnya pada saatnya nanti, sebagaimana Ibrahim dan Ismail mendapatkan buah dari berbaik sangka pada Tuhan. Wallahu a’alam.