Dear Camer, Turunkan Harga Mahar Please

Pandangan pertama, awal berjumpa. Hati berbunga menantikan kehadirannya, menjadi pendamping hidup adalah impian baginya. Seolah tak ada lagi manusia sebaik dirinya. Bersamanya, pasti bahagia. Tidur sekamar dengannya, nyaman rasanya.

Bagai kaca mobil yang dilempar sebongkah batu, retak namun belum hancur. Begitu juga yang dirasakan oleh Mursidi (bukan nama sebenarnya) ketika lamarannya ditolak oleh sang calon mertua kerena harga mahar yang melampung tinggi. Komitmen untuk menyatukan asa dari latar belakang yang berbeda kandas seketika.

“Hancur. Hancur hatiku,” ungkapnya menahan rasa duka dalam dada. Mursidi kemudian menceritakan awal pertemuan dengan calon istrinya. Ketika itu, dia sedang melakukan tugas sosial kemasyarakatan di sebuah desa di salah satu pulau di negeri Indonesia.

Singkat cerita, Mursidi terpukau dengan kepribadian sang calon bidadarinya. Ada rasa nyaman yang sulit diungkapkan ketika bertatap muka dengannya. Setiap kata yang keluar dari bibir tipisnya selalu menyejukan jiwa. Sebagai bukti bahwa dirinya lelaki sejati, akhirnya Mursidi memberanikan diri mendatangi keluarganya.

“Saya suka dengan niat baik Ananda, saya juga bangga dengan kejantanan Ananda untuk meminang putri bungsu saya. Namun, perlu diingat kembali. Pernikahan bukan hanya menyatukan dua insan yang sedang jatuh cinta. Pernikahan juga menyatukan dua keluarga besar yang berbeda latar belakangnya,” jelas sang Ayah pada Mursidi.

Selanjutnya dengan bahasa yang sangat santun sang Ayah menyebutkan nominal minimal Rp 50 juta untuk bisa menggelar seremoni sederhana untuk mengundang sanak saudara dan handai taulan yang berbahagia di rumahnya.

Jangan bayangkan Mursidi seorang eksekutif muda dengan ratusan juta pendapatan setiap bulannya. Mursidi adalah sosok anak muda dengan penghasilan seadanya, bahkan untuk menabung Rp 50 juta saja perlu waktu 5 tahun lamanya.

“Niat baik untuk menghindari fitnah kok dipersulit? Dengan cara baik apa lagi untuk dapat mencium kening wanita yang dicintai jika bukan dengan menikah? Bukankah sebuah peradaban yang luhur dan beradab itu dimulai dari pernikahan?” geram Mursidi.

Beruntung, Mursidi dikelilingi oleh orang-orang baik. Setiap ada niatan untuk mengambil jalan pintas untuk memiliki sang pujaan hati, teman-temannya mengingatkannya. Negosiasi dengan pihak kelurga pun tidak ada perubahan, dana minimal sebesar Rp 50 juta adalah harga mahar yang tidak bisa ditawar lagi.

Mursidi tidak bisa berkutik lagi, ia menghitung, kemampuan finansialnya saat ini hanya bisa untuk membiaya proses administrasi pernikahan di KUA dan mengajak makan tetangga tidak lebih dari 50 orang. Tidak ada pikiran untuk mengadakan resepsi nikah dengan ribuan tamu undangan dengan dana mahar minimal Rp 50 juta.

Jika itu harus diberitakan, Mursidi akan menyebarkan informasinya bahwa dirinya telah menikah lewat media sosial. Toh, substansi resepsi pernikahan adalah pemberitahuan kepada khalayak bahwa Mursidi dan istrinya telah sah dan halal menjadi keluarga.

“Kalau ada dana yang bisa menggelar resepsi dengan ribuan tamu, mendingan aku pakai buat kebutuhan yang lain saja. DP rumah misalnya, atau buat modal usaha dan kebutuhan sehari-hari setelah menikah,” gumam Mursidi dalam hati.

Mau bicara apa lagi, kemampuan finansial belum sesuai ekspektasi. Hanya bisa pasrah dan berserah diri, semoga kelak Tuhan membukakan pintu hati agar para calon mertua di bumi ini tidak memandang calon mantunya dari segi materi. Harga mahar tidak makin membumbung tinggi

“So, please Camer ku yang baik hati. Demi peradaban manusia yang luhur dan beradab. Ringankan harga mahar please. Supaya tidak ada lagi cerita menikah karena terpaksa sudah ada calon cucu di rahim putri para camer. Please… yaa… please,” Mursidi menelungkupkan kedua telapak tangannya di dada.

Diramu dari kisah nyata, diedit sesuai kebutuhan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top